Jakarta, bawainfo.id — Persoalan beras di Indonesia kembali mencuat dan menyisakan pertanyaan besar: beras yang ada di Gudang Bulog saat ini, berasal dari panen petani atau justru sisa dari impor besar-besaran selama dua tahun terakhir?.
(Surplus adalah jumlah yang melebihi hasil biasanya; berkelebihan).
Dalam beberapa tahun terakhir, produksi beras Indonesia mengalami penurunan bertahap. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi beras nasional pada 2022 mencapai 31,54 juta ton, kemudian menurun menjadi 31,10 juta ton pada 2023, dan kembali turun menjadi 30,62 juta ton di tahun 2024.
Penurunan produksi ini diikuti dengan lonjakan drastis pada impor beras. Pada 2022, Indonesia mengimpor 429 ribu ton beras. Namun pada 2023, angka ini melonjak menjadi 3,06 juta ton dengan anggaran yang diperkirakan mencapai Rp24,48 triliun hingga Rp29,07 triliun.
Tahun 2024, impor kembali meningkat signifikan menjadi 4,52 juta ton, menghabiskan dana negara antara Rp36,16 triliun hingga Rp42,94 triliun. Ini adalah angka tertinggi dalam sejarah impor beras sejak Indonesia merdeka.
Dalam dua tahun terakhir, total impor beras Indonesia mencapai 7,58 juta ton, dengan estimasi anggaran negara antara Rp60,64 triliun hingga Rp72,01 triliun. Biaya per kilogram impor beras pun berkisar antara Rp8.000 hingga Rp9.500.
Dua faktor utama yang menyebabkan lonjakan impor ini adalah fenomena iklim global El Niño dan La Niña yang berdampak signifikan pada sektor pertanian, serta dinamika politik menjelang Pemilu yang kerap diikuti oleh peningkatan impor pangan.
Pola ini juga terlihat pada 2018, ketika menjelang Pemilu, impor beras mencapai 2,25 juta ton. Namun yang menjadi sorotan adalah ketimpangan antara kebutuhan impor aktual dengan volume yang direalisasikan.
Pada 2023, penurunan produksi beras sebesar 440 ribu ton dan kebutuhan tambahan sekitar 869 ribu ton seharusnya cukup ditutup dengan jumlah tersebut.
Namun, kenyataannya, Indonesia mengimpor 3,06 juta ton—menyisakan potensi kelebihan 2,19 juta ton beras di Bulog pada akhir tahun.
Situasi serupa terjadi di tahun 2024. Penurunan produksi sebesar 480 ribu ton membuat total kekurangan akumulatif menjadi sekitar 1,35 juta ton. Namun, realisasi impor mencapai 4,52 juta ton. Artinya, potensi surplus beras impor di Bulog bisa mencapai 3,17 juta ton di akhir 2024.
Jika dikalkulasikan, total potensi kelebihan stok beras impor di Bulog pada awal 2025 bisa berada di kisaran 3,17 hingga 5,36 juta ton. Ironisnya, hingga kini belum ada penjelasan transparan mengenai distribusi dan penggunaan beras impor ini.
Namun hanya dalam kurun waktu sekitar empat bulan, narasi berubah drastis. Pemerintah mengklaim bahwa Indonesia kini mengalami surplus produksi beras terbesar sejak kemerdekaan. Menteri Pertanian, Kepala Badan Pangan Nasional, dan Wakil Menteri Pertanian menyebut bahwa per Mei 2025, produksi beras mencapai surplus 3,7 juta ton.
Pernyataan ini mengundang banyak pertanyaan. Jika benar, maka surplus ini melampaui capaian swasembada beras 3 juta ton di era Presiden Soeharto. Bahkan, Presiden Joko Widodo telah membuka ruang ekspor beras ke luar negeri, salah satunya 2.000 ton ke Malaysia.
Namun demikian, pihak kementerian terlihat masih berhati-hati. Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pangan Nasional belum sepenuhnya menyetujui ekspor, dengan alasan perlunya cadangan beras dalam jumlah besar. Sementara itu, bantuan sosial berupa 10 kilogram beras untuk masyarakat terkesan masih tertahan sejak awal tahun.
Ada Apa dengan Beras di Bulog?
Kondisi ini menggiring publik pada dua kemungkinan besar:
• Beras yang kini tersedia di Bulog adalah hasil panen petani Indonesia.
• Atau, beras tersebut merupakan sisa impor besar-besaran dari 2023 dan 2024.
Pertanyaan ini sangat relevan, mengingat anggaran negara yang digunakan untuk impor beras mencapai puluhan triliun rupiah. Maka dari itu, dibutuhkan transparansi dan indikator yang jelas dalam setiap kebijakan pangan agar tepat sasaran, tidak hanya dalam aspek logistik, tetapi juga anggaran dan dampaknya terhadap petani.
Mari kita doakan semoga Presiden RI, H. Prabowo Subianto, bersama jajaran kabinetnya diberi petunjuk, kesehatan, dan kekuatan dalam menetapkan kebijakan yang berpihak pada kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Masyarakat Indonesia berbeda, tapi tetap satu.